Perkembangan peradaban manusia rupanya telah
membawa perubahan pada segenap sisi kehidupan, antara lain sisi spiritualitas. Sebuah fakta yang menarik bahwa ”spiritualisme” sedang berkembang di negara sekuler macam Amerika). Masyarakat di sana rupanya sudah ”lelah” dengan agama-agama yang bersifat institusional dan dogmatis (baca: agama semitik), dan cenderung memilih jalan hidup yang human-sentris. Buddhisme menjadi salah satu alternatif yang semakin banyak digemari masyarakat di Amerika. Tidak hanya masyarakat Amerika, golongan intelektual pada umumnya memang memiliki apresiasi yang baik terhadap Buddhisme, dikarenakan prinsip ajarannya yang tidak dogmatis dan sejalan dengan cara berpikir modern. Salah satunya adalah Derek Parfit) dari Oxford University yang telah menerima pandangan Buddhis tentang kehidupan dan konsep ”tiada jiwa” (annata). Di seluruh dunia, penganut Buddhisme tergolong sedikit, yakni sekitar 500 juta orang saja. Terbanyak adalah Kristen (2 milyar), disusul Islam (1,5 milyar). Lahir di India 2500 tahun yang lalu sebagai ”penyempurnaan” dari agama Hindu, kemudian lebih banyak berkembang di Tiongkok. Seorang guru agama Hindu bernama Paramartha, memiliki andil dalam membawa agama Buddha ke Tiongkok bagian selatan. Beliau memperkenalkan kitab Sutra Suranggana yang ditulis pada abad ke-I Masehi dalam bahasa Sansekerta kepada para sarjana di Tiongkok, untuk kemudian diterjemahkan dan dipelajari. Kitab Sutra Suranggana banyak menuangkan konsepsi Buddhis tentang pikiran dan segenap fenomenanya. Kitab ini menjadi favorit di kalangan terpelajar Tiongkok pada waktu itu. Dibandingkan Abrahamic Faith, Buddhisme tergolong unik, sebab tidak berparadigma teosentris/idol sentris. ”Tuhan” bukanlah persoalan yang utama di dalam Buddhisme. Seorang atheis, agnostis, atau theis, dapat saja menjadi penganut Buddha. Dengan begitu, fundamen ajaran Buddha bukanlah dogma-dogma teologi, tetapi sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri, yakni pikiran (minds). Sebab pikiran adalah sumber dari segala permasalahan yang muncul dalam kehidupan manusia, seperti adanya keinginan, hawa nafsu, emosi, penalaran, pencerapan, berbagai ide/konsepsi/kepercayaan, yang kesemuanya itu perwujudan dari ego atau “aku”. Dengan mengetahui seluk beluk pikiran atau “aku” beserta segenap fenomenanya, kita dapat mencari akar permasalahan dan menundukkannya. Hal ini diwujudkan dengan berbagai latihan disiplin dan praktik meditasi. Dari pikiran sebagai fundamen itulah, maka Buddhisme banyak disebut oleh para orientalis barat sebagai ”ilmu pengetahuan tentang pikiran”. Dari situ dapat dipahami bahwa Buddhisme memiliki metoda memandang ke dalam (menguasai pikiran/diri sendiri) terlebih dahulu untuk kemudian membuat laku ke luar/menanggapi alam sekitar (termasuk misalnya menolak atau menerima suatu ajaran). Sehingga Buddhisme tidak mementingkan siapa yang mengajarkan suatu ajaran apakah ”nabi” atau ”tuhan” atau ”orang penting” mana pun, tetapi apa yang diajarkan. Apakah bermanfaat atau tidak, apakah logis atau tidak, dan sebagainya. Dan kesemua penilaian itu tentunya tergantung pada bagaimana kualitas pikiran kita (sikap ini diterapkan termasuk kepada ajaran Buddha Gautama sendiri, seperti yang dituturkan beliau dalam khutbahnya pada orang-orang suku Kalama) Meski banyak diminati oleh masyarakat Amerika dan banyak diapresiasi oleh kaum cendekiawan, citra Buddhisme tidaklah sebagus itu di Asia dan masyarakat awam pada umumnya. Di Asia, Buddhisme banyak ditinggalkan penganutnya yang beralih ke agama Kristen. Buddhisme juga dianggap sebagai agama yang kolot, penyembah berhala, kaku, dan sudah ketinggalan jaman. Semua tuduhan itu muncul karena orang tidak banyak tahu tentang agama Buddha yang sesungguhnya. Larisnya agama Buddha di masyarakat Barat dan kalangan cendekiawan umumnya, menunjukkan adanya fenomena perubahan paradigma beragama, dari ”teosentris” yang dipopulerkan oleh agama semitik (Abrahamic Faith) menjadi ”human-sentris”. Oleh beberapa penganut secular humanism, tradisi ”worship” bahkan sudah dianggap ketinggalan jaman dan terganti dengan praktek-praktek spiritual seperti meditasi dan yoga. Fenomena perubahan paradigma beragama ini hendaknya dapat menyadarkan kita untuk secara jujur me-review kembali paradigma beragama yang selama ini kita jalankan.[] |
![]() |
Senin, 06 Februari 2012
Kebangkitan Agama Buddha Di amerika & Barat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar